Blogger Jateng

Sejarah Aksara Lampung


Lpg.my.id - Sejarah Aksara Lampung , Aksara Lampung (Lampung:Had lampung.png, Had Lampung) adalah bentuk tulisan yang memiliki hubungan dengan aksara Pallawa dari India Selatan. Macam tulisannya fonetik berjenis suku kata yang merupakan huruf hidup seperti dalam Huruf Arab, dengan menggunakan tanda-tanda fathah pada baris atas dan tanda-tanda kasrah pada baris bawah, tetapi tidak menggunakan tanda dammah pada baris depan, melainkan menggunakan tanda di belakang, di mana masing-masing tanda mempunyai nama tersendiri.

Had Lampung dipengaruhi dua unsur, yaitu Aksara Pallawa dan Huruf Arab. Had Lampung memiliki bentuk kekerabatan dengan aksara Rencong, Aksara Rejang Bengkulu, aksara Sunda, dan aksara Lontara. Had Lampung terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda dan gugus konsonan, juga terdapat lambang, angka dan tanda baca. Had Lampung disebut dengan istilah Kaganga ditulis dan dibaca dari kiri ke kanan dengan Huruf Induk berjumlah 20 buah.

Aksara lampung telah mengalami perkembangan atau perubahan. Sebelumnya Had Lampung kuno jauh lebih kompleks, sehingga dilakukan penyempurnaan sampai yang dikenal sekarang. Huruf atau Had Lampung yang diajarkan di sekolah sekarang adalah hasil dari penyempurnaan tersebut.

Dalung Bandar Dewa. Naskah ini diketemukan di Desa Bandar Dewa Tulang Bawang Barat. Naskah dalung ini terbuat dari perunggu dengan ukuran 15 X 21 cm. Isi naskah ditulis dengan Aksara Lampung kuno terdiri dari 17 baris. Kepala naskah ditulis dengan huruf Jawi (Arab melayu) dengan menyebut tahun 1249, tetapi dengan menggunakan angka Arab (Romawi) tertera angka 1818.

Pada masa silam, gadis-gadis asli Lampung memiliki kemampuan memikat lawan jenisnya. Memang (mantra-mantra) pengasih ini ditorehkan dalam Aksara Lampung kaganga di atas media kulit kayu. Aksara Lampung juga digunakan untuk menulis surat, hukum, surat resmi untuk mengesahkan hak kepemilikan tanah tradisional, mantra, sihir, guna-guna,cara sesajian, petuah-petuah, syarat menjadi pemimpin, obat-obatan, hingga syair mistik Islam. Ada pula syair percintaan, yang dikenal sebagai bandung atau hiwang. Media penulisan selain kulit kayu, juga menggunakan bilah bambu,daun lontar, dalung (kepingan logam), kulit hewan, tanduk kerbau, dan batu. Syair percintaan yang berbentuk dialog ditulis pada keping atau lembar bambu —disebut gelumpai— diikat jadi satu dengan tali melalui lubang di ujung satu serta diberi nomor berdasarkan urutan abjad. Ada pula yang menorehkannya pada tabung bambu dan kulit kayu berlipat.

Karya-karya ilmiah tentang bahasa dan aksara Lampung semuanya memakai “ra” untuk menuliskan huruf atau fonem ke-16 aksara Lampung. Gelar (adok) dan nama tempat harus dituliskan dengan ejaan ra, meski dibaca mendekati bunyi kha/gha, misalnya Pangiran Raja Purba, Batin Sempurna Jaya, Radin Surya Marga, Minak Perbasa, Kimas Putera, Marga Pertiwi. Penulisan “radu rua rani mak ratong” merupakan ejaan baku, sedangkan penulisan “khadu khua khani mak khatong” tidaklah baku.

Sementara itu, penelitian ilmiah tentang bahasa dan aksara Lampung dipelopori oleh Prof. Dr. Herman Neubronner van der Tuuk melalui artikel “Een Vergelijkende Woordenlijst van Lampongsche Tongvallen” dalam jurnal ilmiah Tijdschrift Bataviaasch Genootschap (TBG), volume 17, 1869, hal. 569-575, serta artikel “Het Lampongsch en Zijne Tongvallen”, dalam TBG, volume 18, 1872, hal. 118-156, kemudian diikuti oleh penelitian Prof. Dr. Charles Adrian van Ophuijsen melalui artikel “Lampongsche Dwerghertverhalen” dalam jurnal Bijdragen Koninklijk Instituut (BKI), volume 46, 1896, hal. 109-142. Juga Dr. Oscar Louis Helfrich pada 1891 menerbitkan kamus Lampongsch-Hollandsche Woordenlijst. Lalu ada tesis Ph.D. dari Dale Franklin Walker pada Universitas Cornell, Amerika Serikat, yang berjudul A Grammar of the Lampung Language (1973).


"Adi-adi", puisi tradisional dalam aksara Lampung
Menurut Prof. C.A. van Ophuijsen, bahasa Lampung tergolong bahasa tua dalam rumpun Melayu-Austronesia, sebab masih banyak melestarikan kosakata Austronesia purba, seperti: apui, bah, balak, bingi, buok, heni, hirung, hulu, ina, ipon, iwa, luh, pedom, pira, pitu, telu, tuha, tutung, siwa, walu, dsb. Prof. H.N. van der Tuuk meneliti kekerabatan bahasa Lampung dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya. Bahasa Lampung dan bahasa Sunda memiliki kata awi (bambu), bahasa Lampung dan bahasa Sumbawa memiliki kata punti (pisang), bahasa Lampung dan bahasa Batak memiliki kata bulung (daun). Hal ini membuktikan bahwa bahasa-bahasa Nusantara memang satu rumpun, yaitu rumpun Austronesia yang meliputi kawasan dari Madagaskar sampai pulau-pulau di Pasifik.[2]

Saat ini, Penggunaan Aksara Lampung tidak seumum penggunaan Huruf Latin. Ulun Lampung sendiri lebih banyak menggunakan Huruf Latin untuk menulis Bahasa Lampung. Oleh kaum muda, Penggunaan Aksara Lampung biasanya dipakai untuk menulis hal yang bersifat pribadi seperti buku harian dan surat cinta. Selain itu, tidak sedikit yang menulis Bahasa Indonesia dengan menggunakan Aksara Lampung.

Penggunaan Aksara Lampung bisa kita lihat pada penulisan nama jalan di Provinsi Lampung. Selain itu, penggunaan Aksara Lampung juga bisa kita lihat pada logo Provinsi, Kabupaten, dan Kota di Provinsi Lampung.


Pantun/Segata/Adi-adi adalah salah satu jenis puisi Lampung yang di kalangan Etnik Lampung lazim digunakan dalam acara-acara yang sifatnya untuk bersukaria, misalnya pengisi acara muda-mudi nyambai, miyah damagh, kedayek. Adi-adi di atas berisi tentang prinsip hidup Ulun Lampung secara umum yaitu

  • Piil-Pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri)
  • Juluk-Adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya)
  • Nemui-Nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu)
  • Nengah-Nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis)
  • Sakai-Sambaian (gotong-royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya)
Rumpun Kaganga

Ayah 4 orang anak tersebut mengatakan, huruf-huruf dalam aksara Lampung disebut huruf Basaja atau biasa disebut juga huruf Rencong karena penulisannya yang miring ke kanan, sedangkan tulisan Lampung termasuk rumpun Kaganga.

“Jadi dia huruf tunggal itu sudah punya bunyi, jadi ka, ga, nga, pa dan seterusnya. Sama dengan huruf hanacaraka, satu huruf sudah memiliki bunyi. Nah ini disebut huruf Basaja, Kalau nama tulisan Lampung kan disebut Kaganga,” ucapnya.

Aksara Lampung, terbagi menjadi 3 bagian, yaitu huruf induk atau kelabai surat, anak huruf atau benah surat dan tanda baca. Penulisan aksara Lampung dimulai dari kiri ke kanan, dengan bentuk agak miring. Banyaknya huruf induk atau kelabai surat adalah 20 buah, anak huruf atau benah surat terbagi menjadi 3 bagian berdasarkan letaknya, yaitu diatas huruf induk, disamping huruf induk, dan di bawah huruf induk. Serta tanda baca yang ditulis dengan aksara Lampung.

Huruf induk aksara Lampung yang telah dibakukan pada tahun 1985 adalah ka, ga, nga, pa, ba, ma, ta, da, na, ca, ja, nya, ya, a, la, ra, sa, wa ha, gha. Sedangkan anak hurufnya, untuk diatas huruf induk yaitu Ulan untuk bunyi i dan รจ, Bicek untuk bunyi e, Bitan untuk bunyi o, Tekelubang untuk bunyi ng, Rejenjung untuk bunyi r, Kananian untuk bunyi n.

Sedangkan anak huruf yang berada disamping huruf induk yaitu Tekelingai untuk bunyi ai, Keleniah untuk bunyi h, Nengon untuk tanda mati. Dan anak huruf yang berada dibawah huruf induk yaitu Bitan di Bah untuk bunyi u, Tekelungau untuk bunyi au, Rejunjung di Bah untuk bunyi r.

Selain huruf induk dan anak huruf, aksara Lampung juga memiliki penulisan sendiri untuk tanda baca, seperti tanda titik yang dilambangkan dengan bulatan kecil dan dinamai taghu, tanda koma, tanda tanya, dan tanda seru.

“Muncul kesadaran tentang pentingnya Bahasa Lampung dipelajari itu kan tahun 1960-an, jadi ada kesepakatan dari para pejabat pemerintah. Ini dari tahun 1971 juga sudah mulai ada pelestarian itu sebagai budaya, ya dulu itu kan semangatnya bagaimana mengejar ketertinggalan, mengentaskan kebodohan jadi sifatnya nasional terus. Sudah baku, itu yang tahun 1985,” kata lulusan Unila ini.

Aturan Penulisan

Ada beberapa aturan dalam penulisan aksara Lampung, menurut buku Membaca dan Menulis Huruf Lampung oleh Muhammad Noeh, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menulis aksara Lampung. Untuk huruf sy ditulis dengan aksara sa, huruf z ditulis dengan aksara sa, huruf kh ditulis dengan aksara ha, dan huruf f ditulis dengan aksara pa. Penulisan huruf kagangan lekuknya tidak tajam, dan ditulis sebagian kasar sebagian halus.

Dalam aksara Lampung, lanjut Marshito, ada beberapa masalah mendasar, yaitu dalam hal pelafalan, penulisan aksara, dan penulisan dalam alfabetnya. Contohnya penggunaan kh dan gh serta ra.

“Sepertinya gak ada kesepakatan ini, gh ini jadi dilingkungan Abung, Tulang Bawang huruf r bisa ditulis dalam aksara lampung ra atau gha jika aksara khusus tidak ada bisa ditulis dengan ra. Misal rabai penulisannya dengan ra tapi pelafalannya bisa khabai bisa ghabai. Untuk di Way Lima, Kedondong, peminggir itu menggunakan kh,” ujarnya.

Menurutnya, harus dibuat sebuah kesepakatan yang dapat memcahkan permasalahan tersebut. Tetapi pembagian suku Lampung sendiri menjadi kendala utama menurutnya.

“Jadi memang ini perlu disepakati antara akademisi dengan praktisi di lapangan. Antara penulisan dan pengucapan, jadi kalau bunyi g itu kan ghin dilambangkan dalam bentuk aksara gha lalu kalau yang ra itu dengan kh. Apa yang diucapkan itulah yang ditulis, ya itu maka ada perbedaan. Di lampung kan multi etnis ya, untuk etnis peminggir kan punya sub etnis lagi contohnya Kalianda dengan Kota Agung dan Talang Padang beda, kalau Kalianda ada akhiran -on kalau Kota Agung dan Talang Padang itu akhiran –ko. Kalau saya belajarnya, rumusnya itu tulisan mengikuti pengucapannya,” jelas pria yang bersuku Jawa tersebut.

Lampung Blogger
Lampung Blogger Lampung Blogger Merupakan situs yang membahas informasi Seputar Tutorial, dan Ilmu Pengetahuan.

Post a Comment for "Sejarah Aksara Lampung "